BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ajaran Islam merupakan ajaran yang sempurna, lengkap dan universal yang terangkum dalam 3 hal pokok; Aqidah, Syariah dan Akhlak. Artinya seluruh ajaran Islam bermuara pada tiga hal ini.
Aqidah, syariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan, karena ketiga unsur tersebut merupakan pondasi atau kerangka dasar dari Agama Islam.
Ajaran Agama Islam yang seharusnya bersumber pada Al-Qur’an dan as Sunnah telah banyak yang melenceng. Hal itu dapat dilihat dengan banyaknya bermunculan aliran-aliran sesat atau yang sifatnya bid’ah. Selain itu, kasus-kasus kriminalitas yang semakin merajalela pada saat sekarang ini merupakan suatu cerminan keruntuhan akhlak pada umat Islam saat ini. Untuk itulah, kita selaku umat Rasulullah SAW perlu mengetahui serta mempelajari tentang Ilmu yang membahas ketiga unsur yang menjadi kerangka dasar ajaran agama Islam tersebut agar kita tidak tersesat dan tetap berada di jalan yang benar.
1.2. Rumusan Masalah
Makalah ini terfokuskan pada empat masalah yang akan dibahas penulis yaitu :
1.2.1. Apakah pengertian Aqidah?
1.2.2. Apakah pengertian Syariah?
1.2.3. Apakah pengertian Akhlaq ?
1.2.4. Apa kedudukan akhlaq pada manusia ?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan dan pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian Aqidah, serta manfaat mempelajari aqidah.
1.3.2. Untuk mengetahui pengertian syari’ah, serta karakteristiknya di dalam Islam.
1.3.3. Untuk mengetahui definisi akhlaq, serta cara pembentukan akhlaq.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Aqidah
1.1.1. Pengertian Aqidah
Aqidah adalah bentuk masdar dari kata “ ‘Aqoda, Ya’qidu, ‘Aqdan-‘Aqidatan ” yang berarti simpulan, ikatan, sangkutan, perjanjian dan kokoh. Sedangkan secara teknis aqidah berarti iman, kepercayaan dan keyakinan. Dan tumbuhnya kepercayaan tentunya di dalam hati, sehingga yang dimaksud aqidah adalah kepercayaan yang menghujam atau tersimpul di dalam hati.
Sedangkan menurut istilah aqidah adalah hal-hal yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa merasa tentram kepadanya, sehingga menjadi keyakinan kukuh yang tidak tercampur oleh keraguan. Menurut M Hasbi Ash Shiddiqi mengatakan aqidah menurut ketentuan bahasa (bahasa arab) ialah sesuatu yang dipegang teguh dan terhunjam kuat di dalam lubuk jiwa dan tak dapat beralih dari padanya.Adapun aqidah menurut Syaikh Mahmoud Syaltout adalah segi teoritis yang dituntut pertama-tama dan terdahulu dari segala sesuatu untuk dipercayai dengan suatu keimanan yang tidak boleh dicampuri oleh keragu-raguan.
Aqidah atau keyakinan adalah suatu nilai yang paling asasi dan prinsipil bagi manusia, sama halnya dengan nilai dirinya sendiri, bahkan melebihinya.Sedangkan Syekh Hasan Al-Bannah menyatakan aqidah sebagai sesuatu yang seharusnya hati membenarkannya sehingga menjadi ketenangan jiwa, yang menjadikan kepercayaan bersih dari kebimbangan dan keragu-raguan.
1.1.2. Upaya Memperkokoh Aqidah
Salah satu cara untuk memperkokoh aqidah adalah dengan memurnikan keimanan kepada Allah. Iman kepada Allah merupakan rukun iman yang pertama. Rukun ini sangat penting kedudukannya dalam Islam. Sehingga wajib bagi kita untuk mengilmuinya dengan benar supaya membuahkan aqidah yang benar pula tentang Allah SWT.
1.1.3. Fungsi dan Sumber Aqidah
Fungsi Aqidah
Ibaratnya, Aqidah adalah dasar atau pondasi mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan, harus semakin kuat dan kokoh pondasi dibuat. Kalau dasar/pondasi lemah, bangunan itu akan roboh dan ambruk. Tak ada bangunan tanpa dasar/pondasi.
Dalam ajara Islam, Aqidah-Akhlaq-Syari’ah (Ibadah dan Muamalah), tidak bisa dipisahkan, satu sama lain saling terkait.
Jika seseorang memiliki aqidah yang kuat pasti memiliki akhlaq yang mulia, melaksanakan ibadah sebagaimana tuntunan dan bermuamalah sebaimana di syari’atkan Allah SWT. Juga, jika seseorang berakhlaq mulia, pasti ia kuat aqidahnya, ibadahnya dan bermuamalahnya-pun bagus dan seterusnya.
Sumber Aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan as Sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an dan oleh Rasulullah SAW dalam as Sunnahnya, wajib di imani (diyakini dan diamalkan).
1.2. Syariah
Syariah (berarti jalan besar) dalam makna generik adalah keseluruhan ajaran Islam itu sendiri. Dalam pengertian teknis-ilmiah syariah mencakup aspek hukum dari ajaran Islam, yang lebih berorientasi pada aspek lahir (esetoris). Namum demikian karena Islam merupakan ajaran yang tunggal, syariah Islam tidak bisa dilepaskan dari aqidah sebagai fondasi dan akhlaq yang menjiwai dan tujuan dari syariah itu sendiri.
Syariah memberikan kepastian hukum yang penting bagi pengembangan diri manusia dan pembentukan dan pengembangan masyarakat yang berperadaban (masyarakat madani). Syariah meliputi 2 bagian utama :
Ibadah ( dalam arti khusus), yang membahas hubungan manusia dengan Allah (vertikal). Tatacara dan syarat-rukunya terinci dalam Quran dan Sunah. Misalnya : salat, zakat, puasa
Mu'amalah, yang membahas hubungan horisontal (manusia dan lingkungannya) . Dalam hal ini aturannya aturannya lebih bersifat garis besar. Misalnya munakahat, dagang, bernegara, dll.
Syariah Islam secara mendalam dan mendetil dibahas dalam ilmu fiqh.
Dalam menjalankan syariah Islam, beberapa yang perlu menjadi pegangan :
Berpegang teguh kepada Al-Quran dan as Sunnah (24 :51, 4:59) menjauhi bid'ah (perkara yang diada-adakan).
Syariah Islam telah memberi aturan yang jelas apa yang halal dan haram (7 :33, 156-157), maka :
Tinggalkan yang subhat (meragukan) Ikuti yang wajib, jauhi yang harap, terhadap yang didiamkan jangan bertele-tele.
Syariah Islam diberikan sesuai dengan kemampuan manusia (2:286), dan menghendaki kemudahan (2 :185, 22 :78). Sehingga terhadap kekeliruan yang tidak disengaja & kelupaan diampuni Allah, amal dilakukan sesuai kemampuan.
Hendaklah mementingkan persatuan dan menjauhi perpecahan dalam syari’ah (3:103, 8:46).
Syari’ah harus ditegakkan dengan upaya sungguh-sungguh (jihad) dan amar ma'ruf nahi munkar.
1.2.1. Perbedaan Syari’ah dan Fiqh
Sepintas kita melihat bahwa syari’ah dan Fiqh tidak jauh berbeda, Ilmu Fiqh memang membahas tentang tata cara beribadah yang termasuk dalam syari’ah. Keduanya ada untuk saling melengkapi. Namun, tetap ada perbedaan diantara keduanya.
Berikut ulasannya, Syari’ah terdiri dari dua bagian yaitu:
Ibadah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya
Muamalah yang mengatur hubungan dengan sesama dan makhluk lainnya (binatang dan tumbuhan). Sedangkan Fiqh menurut bahasa berarti ‘paham’ dan secara istilah adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syari’ah yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf dan mengkaji secara mendalam ilmu Syari’ah yang terdiri dari ibadah, baik yang bersifat mahdhah maupun ghairmahdhah. Syari'ah memiliki pengertian yang amat luas. Tetapi dalam konteks hukum Islam, makna Syari'ah adalah Aturan yang bersumber dari nash yang qat'i. Sedangkan Fiqh adalah aturan hukum Islam yang bersumber dari nash yang zanni.
1.2.3. Ibadah dan Mu’amalah dalam Kehidupan Manusia
Syari’ah Islam berfungsi membimbing manusia dalam rangka mendapatkan ridha Allah dalam bentuk kebahagiaan di dunia dan akhirat. Diturunkannya Syariat Islam kepada manusia juga memiliki “tujuan” yang sangat mulia. Pertama, memelihara atau melindungi agama dan sekaligus memberikan hak kepada setiap orang untuk memilih antara beriman atau tidak, karena, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam” (QS. Al Baqaarah, 2:256). Manusia diberi kebebasan mutlak untuk memilih, “...Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS. Al Kahfi, 18:29). Pada hakikatnya, Islam sangat menghormati dan menghargai hak setiap manusia, bahkan kepada kita sebagai mu’min tidak dibenarkan memaksa orang-orang kafir untuk masuk Islam. Berdakwah untuk menyampaikan kebenaran-Nya adalah kewajiban. Namun demikian jika memaksa maka akan terkesan seolah-olah kita butuh dengan keislaman mereka, padahal bagaimana mungkin kita butuh keislaman orang lain, sedangkan Allah SWT saja tidak butuh dengan keislaman seseorang.
Yang kedua, “melindungi jiwa”. Syariat Islam sangat melindungi keselamatan jiwa seseorang dengan menetapkan sanksi hukum yang sangat berat, contohnya hukum “qishash”. Di dalam Islam dikenal ada “tiga” macam pembunuhan, yakni pembunuhan yang “disengaja”, pembunuhan yang “tidak disengaja”, dan pembunuhan “seperti disengaja”. Hal ini tentunya dilihat dari sisi kasusnya, masing-masing tuntutan hukumnya berbeda. Jika terbukti suatu pembunuhan tergolong yang “disengaja”, maka pihak keluarga yang terbunuh berhak menuntut kepada hakim untuk ditetapkan hukum qishash/mati atau membayar “Diyat”(denda). Dan, hakim tidak punya pilihan lain kecuali menetapkan apa yang dituntut oleh pihak keluarga yang terbunuh. Berbeda dengan kasus pembunuhan yang “tidak disengaja” atau yang “seperti disengaja”, di mana Hakim harus mendahulukan tuntutan hukum membayar “Diyat” (denda) sebelum qishash. Bahwasanya dalam hukum qishash tersebut terkandung jaminan perlindungan jiwa, kiranya dapat kita simak dari firman Allah SWT: “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah, 2:179).
Yang ketiga, “perlindungan terhadap keturunan”. Islam sangat melindungi keturunan diantaranya dengan menetapkan hukum “Dera” seratus kali bagi pezina ghoiru muhshon (perjaka atau gadis) dan rajam (lempar batu) bagi pezina muhshon (suami/istri, duda/jand) (Al Hadits). Firman Allah SWT : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” (An Nuur, 24:2). Ditetapkannya hukuman yang berat bagi pezina tidak lain untuk melindungi keturunan. Bayangkan bila dalam 1 tahun saja semua manusia dibebaskan berzina dengan siapa saja termasuk dengan orangtua, saudara kandung dan seterusnya, betapa akan semrawutnya kehidupan ini.
Yang keempat, “melindungi akal”. Permasalahan perlindungan akal ini sangat menjadi perhatian Islam. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah Saw menyatakan, “Agama adalah akal, siapa yang tiada berakal (menggunakan akal), maka tiadalah agama baginya”. Oleh karenanya, seseorang harus bisa dengan benar mempergunakan akalnya. Seseorang yang tidak bisa atau belum bisa menggunakan akalnya atau bahkan tidak berakal, maka yang bersangkutan bebas dari segala macam kewajiban-kewajiban dalam Islam. Misalnya dalam kondisi lupa, sedang tidur atau dalam kondisi terpaksa. Kesimpulannya, bahwa hukum Allah hanya berlaku bagi orang yang berakal atau yang bisa menggunakan akalnya. Betapa sangat luar biasa fungsi akal bagi manusia, oleh karena itu kehadiran risalah Islam diantaranya untuk menjaga dan memelihara agar akal tersebut tetap berfungsi, sehingga manusia bisa menjalankan syariat Allah dengan baik dan benar dalam kehidupan ini. Demikian pula, agar manusia dapat mempertahankan eksistensi kemanusiaannya, karena memang akallah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk Allah yang lain. Untuk memelihara dan menjaga agar akal tetap berfungsi, maka Islam mengharamkan segala macam bentuk konsumsi baik makanan, minuman atau apa pun yang dihisap misalnya, yang dapat merusak atau mengganggu fungsi akal. Yang diharamkan oleh Islam adalah khamar. Yang disebut khamar bukanlah hanya sebatas minuman air anggur yang dibasikan seperti dizaman dahulu, tapi yang dimaksud khamar adalah, “setiap segala sesuatu yang membawa akibat memabukkan” (Al Hadits).
Keharaman Khamar sudah sangat jelas, di dalam QS. Al Maidah ayat 90 Allah SWT menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Maa-idah,5:90) Ayat ini mengisyaratkan, bahwa seseorang yang dalam kondisi mabuk, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib maka tergolong syaitan, karena sifat syaitani sedang mengusai diri yang bersangkutan.
Yang kelima, “melindungi harta”. Yakni dengan membuat aturan yang jelas untuk bisa menjadi hak setiap orang agar terlindungi hartanya di antaranya dengan menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri. “Laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Qs. Al Maa-idah, 5:38). Juga peringatan keras sekaligus ancaman dari Allah SWT bagi mereka yang memakan harta milik orang lain dengan zalim, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (neraka Jahannam) (QS. An Nisaa, 4:10).
Yang keenam, “melindungi kehormatan seseorang”. Termasuk melindungi nama baik seseorang dan lain sebagainya, sehingga setiap orang berhak dilindungi kehormatannya dimata orang lain dari upaya pihak-pihak lain melemparkan fitnah, misalnya. Kecuali kalau mereka sendiri melakukan kejahatan. Karena itu betapa luar biasa Islam menetapkan hukuman yang keras dalam bentuk cambuk atau “Dera” delapan puluh kali bagi seorang yang tidak mampu membuktikan kebenaran tuduhan zinanya kepada orang lain. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) dengan delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. An Nuur, 24:4). Juga dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat. Dan bagi mereka azab yang besar” (QS. An Nuur,24:23). Dan larangan keras pula untuk kita berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan dan menggunjing terhadap sesama mu’min (QS. Al Hujurat,49:12).
Yang ketujuh, “melindungi rasa aman seseorang”. Dalam kehidupan bermasyarakat,seseorang harus aman dari rasa lapar dan takut. Sehingga seorang pemimpin dalam Islam harus bisa menciptakan lingkungan yang kondusif agar masyarakat yang di bawah kepemimpinannya itu “tidak mengalami kelaparan dan ketakutan”. Allah SWT berfirman: “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Al Quraisy, 106:4).
Yang kedelapan, “melindugi kehidupan bermasyarakat dan bernegara”. Islam menetapkan hukuman yang keras bagi mereka yang mencoba melakukan “kudeta” terhadap pemerintahan yang sah yang dipilih oleh umat Islam “dengan cara yang Islami”. Bagi mereka yang tergolong Bughot ini, dihukum mati, disalib atau dipotong secara bersilang supaya keamanan negara terjamin (QS. Al Maa-idah, 5:33). Juga peringatan keras dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Saw menyatakan, “Apabila datang seorang yang mengkudeta khalifah yang sah maka penggallah lehernya”.
1.3. Akhlaq
Pengertian akhlaq secara etimologi berasal dari kata khuluq dan jama’nya adalah akhlaq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku. Kata akhlaq berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan, seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluk (yang diciptakan) dan khalaq (penciptaan).
Kesamaan akar kata diatas mengiyakan bahwa dalam akhlaq tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak khaliq (Tuhan) dengan prilaku makhluk (manusia). Atau dengan kata lain, tata prilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlaq yang haqiqi jika tindakan atau prilaku tersebut didasarkan kepada kehendak khaliq. Dari pengertian etimologi tersebut diatas akhlaq merupakan tata aturan atau norma prilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia, dan juga yang mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhan dan dengan alam semesta.
Apabila kata akhlak dikaitkan dengan kalimat Islam,yang disebut al-Akhlak Islamiyah atau al-Akhlak al-Karimah maka artinya adalah perbuatan dan tingkah laku yang terbaik dan terpuji, sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan as Sunnah.
Secara terminologis, Imam Ghazali mendefinisikan bahwa akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sementara menurut Imam Qurthubi akhlaq adalah adab atau tata krama yang dipegang teguh oleh seseorang sehingga adab atau tata krama itu seakan menjadi bagian dari penciptaan dirinya.
Akhlaq terbagi menjadi dua yaitu akhlakul al-karimah (terpuji) dan akhlakul al-madzmumah (tercela). Menurut objek atau sasarannya, akhlaq juga dapat terbagi menjadi dua bagian yaitu akhlaq terhadap Khalik atau Pencipta yaitu Allah SWT dan akhlaq terhadap makhluk. Makhluk adalah segala yang diciptakan Allah, yang dibagi menjadi dua bagian yaitu manusia dan bukan manusia. Akhlaq terhadap manusia terdiri dari akhlaq terhadap Nabi dan Rasul, akhlaq terhadap diri sendiri, akhlaq terhadap keluarga, terhadap masyarakat, terhadap bangsa dan hubungan antar bangsa.
Akhlaq terhadap selain manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu terhadap benda mati, terhadap alam nabati atau flora, dan terhadap alam hewani atau fauna. Ajaran tentang dasar-dasar agama Islam ini, terjalin rukun agama yang disebut Hadis Nabi yaitu Hadis Jibril (Iman, Islam, dan Ihsan).
1.3.1. Muhammad Rasulullah SAW sebagai Prototif Akhlak Islami
Akhlak mendapat kedudukan yang tinggi di dalam Islam, hal ini dapat dilihat dari beberapa sebab antara lain :
Islam telah menjadikan akhlak sebagai illat (alasan) kenapa agama Islam diturunkan. Hal ini terdapat dalam sabda Rasulullah “Aku diutus hanyalah semata-mata untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia” (HR Malik). Sesungguhnya realisasi akhlak yang mulia merupakan inti risalah Nabi Muhammad saw.
Islam menganggap orang yang paling tinggi darajat keimanannya ialah mereka yang paling mulia akhlaknya. Dalam hadist dinyatakan “Orang-orang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan manusia yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap istrinya” (hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi).
Islam telah mentakrifkan “Addin” dengan akhlak yang baik. Dalam hadist telah dinyatakan bahwa telah bertanya kepada Rasulullah SAW. “Apakah Addin itu ? Sabda Rasulullah, akhlak yang baik Ini berarti bahwa akhlak itu dianggap sebagai rukun Islam samalah keadaannya dengan wukuf dipandang Arafah dalam bulan Haji”.Berdasarkan sabda Rasulullah SAW tersebut, Haji itu (amal haji) ialah wukuf diPadang Arafah, Wukuf di padang Arafah adalah dianggap sebagai salah satu rukun amal haji, demikian juga keadaannya pada akhlak.
Di dalam Islam, akhlak yang baik merupakan amalan utama yang dapat memberatkan neraca amal baik di akhirat kelak. Hal ini dinyatakan dalam hadist Rasulullah SAW yang artinya : “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan selain akhlak yang baik” (Shahih Jami). Dari hadist tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa timbangan amal baik kita diakhirat dapat ditambah beratnya dengan akhlak yang baik. Selain itu, akhlak dan takwa sama kedudukannya dari sudut ini, yang mana kedua-duanya merupakan perkara paling berat yang diletakkan dalam neraca akhirat. Selain itu, Rasulullah pernah bersabda, “Kebajikan itu adalah akhlak yang baik” (HR Muslim). Jadi, akhlak yang mulia adalah inti dari suatu kebajikan.
Dalam ajaran Islam dinyatakan bahwa mereka yang berjaya memenangi kasih sayang Rasulullah SAW pada hari akhirat ialah orang yang paling baik akhlaknya. Dalam hadist Rasulullah SAW bersabda “Yang paling aku kasihi di antara kamu dan yang paling dekat kedudukannya padaku di hari akhirat adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara kamu”.
Keistimewaan Nabi Muhammad SAW adalah keberadaannya sebagai manusia yang memiliki akhlak tinggi, mulia dan agung. Akhlak ini dimiliki Beliau SAW semenjak belum menjadi nabi dan rasul, sebagaimana pernyataan Ummul Mukminin Khadijahra, “Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, demi Allah, engkau menyambung hubungan silaturrahim, berbicara benar, memikul beban orang lain, membantu yang tidak berpunya, menyuguhkan penghormatan untuk tamu dan membantu mereka yang terkena musibah” (HR Bukhari). Selain itu terdapat juga dalam firman Allah Surah Al-Qalam ayat 4 “Sesungguhnya engkau mempunyai akhlak yang luhur”. Walau begitu Beliau SAW tetap sering berdoa “Tuhanku, tunjukilah aku akhlak yang paling baik”.
Syi’ar-syi’ar ibadah Islam di antaranya dimaksudkan untuk menggapai akhlak yang mulia. Shalat misalnya, dimaksudkan untuk mentarbiyah dan mendidik manusia agar berhenti dari segala perbuatan keji dan munkar (QS Al-‘Ankabut: 45). Ibadah puasa dimaksudkan untuk menggapai tingkatan taqwa (QS Al-Baqarah: 183). Berkaitan dengan ibadah puasa ini, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan palsu (bohong), maka tidak ada keperluan bagi Allah swt terhadap puasa seseorang yang hanya sekadar meninggalkan makan dan minum” (HR Bukhari). Zakat, infak dan sedekah, di antara rahasianya adalah untuk menyucikan dan membersihkan jiwa dari berbagai sifat buruk dan tercela (QS At-Taubah: 103). Sedangkan ibadah haji difardhukan oleh Allah agar orang yang beribadah haji terlatih untuk tidak berkata kotor, tidak berbuat fasik, dan tidak banyak berdebat kusir (QS Al-Baqarah: 197).
1.3.2. Sumber Akhlaq
Yang dimaksud sumber akhlaq adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercela. Sebagaimana keseluruhan ajaran Islam, sumber akhlaq adalah Al-Qur’an dan as Sunnah, bukan akal fikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral. Dan bukan pula karena baik atau buruk dengan sendirinya sebagaimana pandangan Mu’tazilah.
Dalam konsep akhlaq, segala sesuatu itu dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela, semata-mata karena Syara’ (Al-Qur’an dan as Sunnah) menilainya demikian. Kenapa sifat sabar, syukur, pemaaf, pemurah, jujur misalnya dinilai baik?tidak lain karena syara’ menilai semua sifat-sifat itu baik. Begitu juga sebaliknya, kenapa pemarah, tidak bersyukur, dendam, kikir dan dusta misalnya dinilai buruk? Tidak lain karena Syara’ menilainya demikian.
1.4. Ruang Lingkup Akhlak
Akhlak kepada Allah
Mensyukuri nikmat Allah (QS Al-Baqarah, 2: 52)
Malu berbuat dosa (QS An Nahl: 19)
Allah sebagai tempat pengharapan (QS Al Huud: 56)
Optimis terhadap pertolongan Allah (QS Yusuf: 87)Yang berputus asa dari rahmat Allah : orang-orang kafir. Bersifat husnudzan kepada Allah (QS Fushilat: 22 ± 23)
Yakin akan janji-janji Allah (QS Al An’am: 160)
Akhlak kepada diri sendiri
Beberapa cara memperbaiki diri:
Taubatun nashuha (QS At Tahrim: 8)
Muroqobah: senantiasa merasa dalam pengawasan Allah (QS Al-Baqarah: 235)
Muhasabah: evaluasi diri (QS Al Hasyr: 18)
Mujahadah: bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (QS Al ankabut: 69, QSYusuf: 53)
Akhlak kepada orang lain
Akhlak kepada orang tua:
Taat dan patuh kepada orang tua. QS Lukman: 15, Harus taat dan patuh pada orang tua, namun jika orang tua memaksa berbuat jahat, kita tidak boleh mengikuti.
Akhlak kepada masyarakat
Akhlak kepada lingkungan
BAB III
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Jadi, perbedaan antara aqidah, syari’ah, dan akhlak adalah aqidah yang merupakan pegangan seorang muslim dalam meyakini dan mengimani Allah SWT dan Islam. Syari’ah sebagai jalan, aturan, dan tindakan konkret berupa ibadah kepada Allah SWT setelah meyakini dan terbentuknya aqidah yang benar. Akhlak adalah perilaku, kebiasaan, dan budi pekerti sebagai aplikasi aqidah dan syari’ah dalam kehidupan sehari-hari.
1.2. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSAKA
Fadhil, M. Mustaqim, Buku Ajar Pokok-Pokok Materi Al Islam 1, Universitas Muhammadiyah Surabaya, 2003.
http://www.docstoc.com/docs/80978155/akhlak
Belum ada tanggapan untuk "Makalah Pendidikan Agama (Aqidah, Akhlaq, Syariah) ||| Agus Sukmana"
Post a Comment